1. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Menusia memperoleh penegetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang digunakan dalam penalarannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah cipataan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri itu sudah ada jauh sebelim manusia berusaha memikirkannya fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat arpiori dan dapat diketahiu oleh manusia lewat kemammpuan berfikir rasionalnya. Pengalamn tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang dapat lewat penalaran rasional itulah maka kita daapt mengerti kejadian-kejadian yang berlakudalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bbagus kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.
Masalah utama yang timbul dari caraberpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang mnurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sistem pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang bagi si B merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi darikebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbatas daripengalam maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu objek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiaran rasional cenderung untuk bersifat silopsistik dan subyektif.
2. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksudkan ialah pengalaman inderawi.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindra manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut mempunyai beberapa katakteristik tertentu, umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau dipanaskan akan mememanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Demikian seterusnya di mana pengamatan kita akan membuahkan pegetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan umpamanya saja bermacam-macam logam kalau kita panaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif. Suatu kumplan mengenai fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis; kecuali kalau dia hanya " seorang kolektor barang-barang serbaneka". Lebih jauh Einstein mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindra. Hal ini membawa kita kepada dua masalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata, umpamanya rambut keriting dan inteligensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan antara kedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan inteligensi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas? Sekiranya kita mengatakan tidak bagaimana sekiranya penalaran induktif membuktikan sebaliknya?
Pernyataan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antaraberbagai fakta tidakalah nyata sebagaimana yang kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka pemikirang yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindra sebagai alat yang menangkapnya. Pertanyaannya apakah yang sebenarnya dinamakan pengalaman? Apakah ha ini merupakan stimulus pancaindra? Ataukah perspsi? Atau sensasi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindra sebagai alat dalam menangkap gejala fisikyang nyata maka seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindra tersebut?
Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakikat pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan pancaindra manusia ini bukan merupakan suatu yang baru bagi kita. Pancaidra manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi pancaindra manusia bisa melakukan kesalahan.
3. Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.
Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional maupun secara empiris, keduanya merupakan induk produk dari sebuah sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses yang berliku-liku tiba-tiba saj dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa juga, intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak ada waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutnya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai ke sana.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menysun pengetahuan secara teratu maka intuisi ini tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pennyataan yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak expierence) sedangkan bagi Nietzsche merupakan intelegensi yang paling tinggi.
4. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh ALLAH kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.
Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat trasedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan pada kepercayaan akan hal-hal yang ghaib. Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima: pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandun di dalamnya bersifat konsisten atau tidak di pihak lain secara empiris bisa dikumpulkan secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebuat atau tidak. Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.
Sumber: Adib,Mohammad, 2011, Filsafat Ilmu, Pustaka Belajar, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar