Tantangan bagi perdamaian adalah konflik. Demi kejelasan argumentasi selanjutnya di sini saya membedakan antara "konflik" sebagai paham yang lebih umum di satu pihak dan "konflik terbuka" dan perkelahian di lain pihak. Konflik saya pahami sebagai situasi interaktif yang dapat menimbulkan konflik terbuka berupa tabrakan, perkelahian, atau perang. Dengan mengesampingkan konflik yang (atau: sejauh ia) bersifat subjektif [dalam arti tersebut di atas] konflik merupakan kondisi manusia yang tak terelakkan. Adanya konflik berarti ada perbedaan paham atau alternatif alternatif bertindak atau kepentingan-kepentingan yang saling mengecualikan.
Ada dua kemungkinan untuk memecahkan konflik: secara damai, atau secara paksaan. Paksaan bisa bersifat fisik (saling memukul, berkelahi dengan atau tanpa senjata). Atau bersifat rohani (seperti mengancam orang lain agar tidak mengemukakan pendapatnya). Atau bersifat sosial dalam pelbagai dimensi (saling menekan atau memaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, misalnya, untuK menyingkirkan produk lawan dari pasaran, mematahkan pengaruh lawan pada pimpinan sebuah universitas, untuk memaksakan upah yang lebih tinggi). Apabila konflik beralih menjadi tabrakan, perkelahian dan perang berarti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan tidak mau memecahkannya secara damai, melainkan memilih jalan hendak memaksa konflik itu. saya dengan seorang kenalan hendak nonton film dan tinggal sebuah karcis, maka terdapat konflik kepentingan objektif. Kalau lalu kami saling berebutan dan baku hantam, terjadi tabrakan atau percobaann untuk memecahkan konflik itu secara paksa. Sebaliknya, kalau saya mundur, konflik itu terpecahkan secara damai. Hal yang sama berlaku dalam kasus di mana hanya tinggal satu tempat dalam helikopter, padahal ada dua orang dikepung api, begitu juga dalam hal pandanganpandangan ilmiah yang bertentangan.
Jahatnya perkelahian terletak dalam perendahan mereka yang bersangkutan ke tingkat submanusiawi. Perkelahian berarti masing-masing pihak berusaha mencapai tujuannya tanpa memperhatikan kehendak, otonomi dan dengan demikian martabat manusia-pihak lawan. Perkelahian diputuskan bukan sesuai dengan keadilan atau menurut pihak-pihak yang terlibat, bukan sesuai dengan kebenaran atau kepalsuan, melainkan menurut siapa yang menang atau yang paling kuat Imaka dari itu, suatu pertandingan resmi justru tidak merupakan konflik karena berjalan menurut peraturan yang disepakatil. Perkelahian, karena merupakan usaha paksaan, selalu merupakan usaha untuk mencapai sesuatu dengan menundukkan, memperdaya atau membunuh pihak lawan, suatu usaha di mana nilai pihak lawan, martabatnya, haknya, tidak masuk hitungan, di mana akal budi, tanggung jawab, pertimbangan moral dan segala apa yang merupakan keluhuran manusia dibandingkan dengan binatang, tidak dipakai. Dalam perkelahian atau perang yang menang adalah yang lebih kuat, bukan yang lebih benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar