a. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari
karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah
mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa
jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat
sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan
bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu
logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang
rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.
Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa
karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini
mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa
dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat
sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika
(thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali
tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang
lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada
pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan
dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih
dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
b. Iradat
Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat
bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa
terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan
undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih
abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah
yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan
ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai
hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti
juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan
Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab
dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air
tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam,
bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan
dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi
Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin,
kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri
(zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita
lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain,
filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok
dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal
“Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat
al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih,
pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan
sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik
Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi
pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap
materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa
kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri
sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat
dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan
ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai
tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan
pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Sumber:
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar