Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad,
Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan
wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah
memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf
yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang
bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka
ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan
belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada
tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya
sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan
orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili
di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia
berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai
menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai
beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika),
falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain
mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan
Naishabur untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan
kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk.
Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama
besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri
Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai
guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota
Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4
(empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang
datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari
keramaian.
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi
Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam
dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam
masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung
lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik
pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara
musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan
al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang
terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485
H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib
al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand,
Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah
Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan
orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali,
bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.Dalam hal ini,
karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani
Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan
pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M).
Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di
mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi
penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham
Al-Muluk.
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh
Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik
dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi
permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang
berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya
aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat
dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum,
shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat
direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi
sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan
pengaruhnya untuk membuat kekacauan.
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam
memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah
untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam
kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang
pernah ia singgahi dan terobosan yang ia
lakukan antara lain:
a. Ketika ia di
Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat)
tahun.
b. Ia meninggalkan
kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun
untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan
menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c. kemudian ia
menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di
mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama
dari Allah.
d. tidak lama
kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara
Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu
iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan
kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e. Dari Palestina
(Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak
berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin
Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan
pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk
pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang
ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia
menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f. Selanjutnya ia
kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus
untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih
Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.
Sumber:
Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata
Hati), Surabaya: Terbit Terang, t.t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar