Jumat, 02 Desember 2016

Perdamaian sebagai Nilai

Bukan secara etis saja pemecahan konflik secara paksa harus dinilai negatif. Dari segi keberlangsungan kehidupan umat manusia, setiap perkelahian merupakan ancaman. Pada anak atau binatang (yang masih murni digerakkanCVinsting) kelihatan bahwa perkelahian dalam dinamikanya yang sebenarnya menuju pembunuhan. Itulah sebabnya hanya jenis-jenis binatang yang pada waktunya mengembangkan mekanisme instinktual untuk mengerem agresi dapat mempertahankan diri melalui seleksi survival of the fittest dimasukkan ke kandang tikus tentu akan dibunuh. Sebaliknya, serigala jantan yang kalah berkelahi, menyerah; dengan demikian ia "merangsang" insting pengerem insting pembunuh dalam pemenang dan dengan demikian dibiarkan hidup dan dapat memperkuat kelompoknya. 
Rasa takut menutup kemungkinan komunikasi. Sebagaimana diperlihatkan Habermas, komunikasi hanya dapat terjadi di luar situasi terancam, di lingkup bebas kekuasaan jadi di alam damai. Dengan demikian kebebasan mengandaikan perdamaian (maka, sebaliknya, dalam keadaan perang kita dengan sendirinya menyetujui pelbagai pembataan kebebasan). Hal yang sama berlaku bagi pekerjaan bersama, penciptaan kebudayaan, bagi pencarian kebenaran bersama, pertukaran pendapat dan sebagainya. Tanpa perdamaian, komunikasi akan mati. Dan dengan demikian manusia akan punah (membesarkan anak mengandaikan adanya perdamaian sekurang-kurangnya dalam lingkungan akrab)
Damai, di samping kebenaran, bukan salah satu nilai sosial saja, melainkan nilai sosial fundamental. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa keselarasan yang diperlukan manusia tidak berdiri dalam keseimbangan antar damai dan perang, melainkan dalam damai sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar